Noktah-noktah Penting di Balik Definisi Puasa
Noktah-noktah Penting di Balik Definisi Puasa
Penulis :
Abul Qasim Najieb Suhrawardi Al-Bughisiy[1]
-waffaqahullahu-
Puasa (الصِّيَامُ) merupakan ibadah yang amat agung di dalam Islam. Saking agungnya, Allah –azza wa
jalla- menjadikannya sebagai salah satu di antara rukun Islam yang tanpanya,
agama anda tidak akan sempurna! Ketakwaan anda tak akan terwujud dengan baik,
tanpa ibadah puasa yang agung ini.
Di
sinilah rahasianya Allah mewajibkan puasa itu bagi setiap muslim untuk berpuasa
setiap tahunnya saat bulan Ramadhan tiba.
Lalu
apa sih sebenarnya “ash-shiyam” (puasa) itu? Penting untuk kita ketahui agar kita paham benar tentang ibadah yang satu ini. Sebab,
terkadang seperti kata orang bahwa tak kenal, maka tak sayang.
Lalu apa
itu puasa?
Puasa
(الصِّيَامُ) secara bahasa
adalah menahan diri dari berbicara atau selainnya berupa segala jenis ucapan
dan perbuatan.
Dari definisi ini, maka tampak bagi
kita bahwa puasa secara bahasa mencakup segala jenis bentuk usaha “menahan diri”
(menahan diri dari makan, minum, berbicara, keluar rumah, naik kendaraan, dan
lain-lain sebaginya).
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa puasa secara bahasa
adalah bermakna “menahan”, firman
Allah -ta'ala- tentang Maryam –alaihas salam-,
{إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم: 26]
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (menahan
diri dari berbicara) untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini". [QS.
Maryam : 26]
Di
dalam ayat ini, Maryam -alaihas salam- mengungkapkan tentang menahan diri dari
berbicara atas perintah dari Allah -azza wa jalla- dengan menggunakan kata puasa
(صَوْمًا) menurut maknanya secara bahasa, bukan maknanya
menurut istilah syariat.
Adapun puasa (الصِّيَامُ) menurut istilah syariat, maka Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin
–rahimahullah- berkata,
هو التعبد لله تعالى بالإمساك عن المفطرات من طلوع الفجر إلى
غروب الشمس.
“Sesungguhnya dia (puasa) adalah penghambaan diri kepada Allah -ta'ala-
dengan menahan diri dari segala pembatal-pembatal (puasa) mulai dari terbitnya
fajar (shodiq) hingga terbenamnya matahari.”[2]
[Taqribus
Shiyam fi Su’al wa Jawab, karya Syaikh Abu Amr Nuruddin As Suda'iy -hafizahullah-]
Di dalam definisi ini, terdapat
beberapa noktah penting harus kita cermati dan perhatikan dengan seksama :
1)
Puasa adalah at-ta’abbud (penghambaan
dan perendahan diri) kepada Allah dengan melakukan perkara-perkara yang Allah
perintahkan dan meninggalkan perkara-perkara yang Allah larang demi mencari
pahala dan keutamaan di sisi Allah.
Ini
terkait tujuan ibadah kita, misalnya puasa kita tunaikan semata karena Allah
agar meraih pahala dan keutamaan.
2)
Menahan diri saat berpuasa dari
segala hal yang membatalkan ibadah puasa kita berupa makan, minum berhubungan suami-istri
dan hal-hal yang semisalnya.
Seorang yang berpuasa dituntut untuk
menjauhi pembatal-pembatalnya karena Allah. Semata
ia tinggalkan karena Allah agar ia terlatih meninggalkan perkara-perkara
lainnya yang dilarang oleh Allah -azza wa jalla-.
Jadi,
kita tinggalkan tiga perkara (makan, minum, dan berjimak) yang asalnya adalah
hal-hal yang halal di luar dari waktu siang hari Ramadhan. Namun, semua itu
kita tinggalkan semata karena Allah -jalla wa alaa- agar kita lebih
mudah meninggalkan hal-hal yang memang asalnya adalah haram!
3)
Pembatal-pembatal
puasa kita tinggalkan sejak azan kedua yang ditandai dengan terbitnya fajar
shodiq sampai tenggelamnya matahari pada hari itu.
Sebagian
orang keliru saat menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, misalnya ia mulai
menahan diri (imsak) 15 menit sebelum azan Subuh. Padahal Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam- dan para sahabat dahulu menahan diri dari makan dan minum
tepat saat azan Subuh terdengar, bukan 15 menit sebelumnya!
Kekeliruan lain terjadi saat berbuka
puasa dengan adanya sebagian orang yang enggan berbuka puasa saat matahari
sudah sempurna tenggelam di arah barat dengan alasan masjid belum azan, atau
karena jadwal shalat abadi yang ada di masjid atau aplikasi belum
menunjukkan waktu shalat.
Padahal azan atau waktu shalat
Maghrib dan buka puasa ditentukan dengan tenggelamnya matahari dengan sempurna
di arah barat, sehingga saat kita telah melihat matahari tenggelam dengan
sempurna di arah barat, maka boleh bagi kita segera berbuka walaupun belum
terdengar azan di masjid.
Para pembaca yang budiman, puasa
adalah ibadah tahunan yang harus selalu kita pelajari. Karena, tidak ada ibadah
yang akan kita tunaikan, melainkan ibadah itu harus didahului dengan ilmu.
Syaikh
Shalih bin Abdillah Al-Ushaimiy -waffaqahullahu- berkata,
“Wajib bagi seseorang yang ingin berpuasa untuk memperlajari (hal-hal) terkait
dengan hukum-hukum seputar puasa, sebelum ia memasuki bulan Ramadhan, agar ia
tidak merusak ibadah puasanya, sementara ia tidak menyadarinya. Karena, segala
hal yang wajib untuk diamalkan, maka mempelajarinya terlebih dahulu hukumnya
adalah wajib.”
Puasa ini wajib kita ilmu dan
pelajari, lalu kita amalkan, niscaya ibadah kita puasa kita akan selalu
sempurna, atau minimal mendekati sunnah (petinjuk) Nabi -shallallahu alaihi
shallam-.
Wa akhiru da’wana anil hamdulillah wa shollallohu ala Nabibiyyina wa alihi
wa ashhabihi ajma’in wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumid din.
----------------------------------
NB :
1)) Sumber Artikel : t.me/alqaasim
2)) Artikel ini
telah diedit dan disempurnakan oleh Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
pada tanggal 8 Rajab 1443 H.
[1] Ustadz
Abul Qasim Najieb Suhrawardi Al-Bughisiy –hafizhahullah-
adalah salah seorang pengajar di Pesantren As-Sunnah, Dusun ll, Desa Kanie, Labempa,
Kec. Maritengngae, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan 91611.
Alamat Google Maps Pesantren beliau : https://goo.gl/maps/NpaQJqFQjkdFZqR38
[2] Lihat
Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin (19/12)
Faidah ringkas yang sangat bermanfaat
BalasHapus