Meraih Cinta Allah dengan Amalan Nawafil

 


Meraih Cinta Allah dengan Amalan Nawafil

 

Penulis :

Ustadz Syafaat Al-Munawiy –hafizhahullah-

(Pengajar Ma’had Subulus Salam Samaya, Gowa)[1]

 

Meraih dan mendapatkan cinta Allah -azza wa jalla- merupakan dambaan dan keinginan bagi setiap insan. Terlebih lagi bagi seorang yang beriman. Bagaimana tidak? Tatkala seorang hamba telah meraih kecintaan dari Allah -azza wa jalla-, maka berbagai macam fadhilah (keutamaan) dan kebaikan akan didapatkan dan dirasakannya.

 

Disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallohu 'anhu-, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

«إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ القَبُولُ فِي الأَرْضِ»

Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru malaikat Jibril (seraya berfirman), ‘Sesungguhnya Allah -ta'ala- mencintai fulan. Lantara itu, cintailah dia.’ 

Kemudian, malaikat Jibril pun mencintainya, lalu dia menyeru di kalangan penduduk langit (seraya berkata), ‘Sesungguhnya Allah -ta'ala- mencintai fulan. Lantaran itu, cintailah dia.’

Karena itu, penduduk langit (para malaikat) mencintainya, lalu diletakkan untuk hamba tersebut penerimaan di muka bumi.” [HR. Al-Bukhoriy (no. 3209), dan Muslim (no. 2637)]

 

Di akhir hadits ini, “…diletakkan untuk hamba tersebut penerimaan di muka bumi.”

 

Ketika mengomentari potongan kalimat tersebut, Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al-Ustaimin -rahimahullah- berkata,

"فيحبه أهل الأرض." اهـ

“(Maksudnya), penduduk bumi pun mencintainya.” [Lihat Syarh Riyadhish Sholihin (3/271 )]

 

Demikian pula disebutkan di dalam  hadits Abu Hurairah -radhiyallohu 'anhu-, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda, “Allah -ta'ala- berfirman,

 

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Karena itu, apabila Saya telah mencintai seorang hamba, maka Saya akan menjadi pendengarannya yang akan mendengar dengannya, akan menjadi penglihatannya yang akan melihat dengannya,  akan menjadi tangannya yang akan memegang dengannya,  dan akan menjadi kakinya yang dia akan melangkah dengannya. Apabila dia meminta, maka pasti Saya akan beri, dan apabila dia meminta perlindungan, maka Saya akan melindunginya. [HR. Al-Bukhariy (no. 6502)]

 

Syaikh Muhammad bin Abdillah bin Abdil Lathif Al-Jardaniy Ad-Dimyatiy Asy-Syafi'iy -rahimahullahu- berkata ketika menerangkan hadits di atas,

“Terdapat perselisihan tentang makna hadits ini. Ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya kalimatnya ada “mudhof” yang dihilangkan. Diperkirakan kalimatnnya, “Saya akan menjaga pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dimana dia tidak mendengar, kecuali yang halal didengar; Saya akan menjaga penglihatannya yang dia melihat dengannya, dimana dia tidak melihat, kecuali yang halal dilihat;  Saya akan menjaga tangannya yang dia memegang dengannya, dimana dia tidak memegang, kecuali yang halal; Saya akan menjaga kakinya yang dia berjalan dengannya, sehingga dia tidak melangkah, kecuali pada yang halal untuk berjalan padanya. (Lalu beliau menyebutkan pendapat-pendapat yang lain). [Lihat Al-Jawahir Al-Lu'luiyyah fi Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyyah (hlm. 538)]

 

Dari dua hadits diatas, disebutkan berbagai macam keutamaan yang akan didapatkan oleh seorang hamba yang dicintai oleh Allah -subhanahu wa ta'ala-.

 

Di antara keutamaan itu :

1.   Dicintai oleh para Malaikat.

2.   Dicintai oleh manusia yang sholih.

3.   Anggota badannya akan terjaga, sehingga dia tidak menggunakannya, kecuali pada perkara yang halal dan memberikan manfaat untuk dirinya.

4.   Doanya akan dikabulkan.

5.   Apabila meminta perlindungan dari sesuatu yang menakutkan, maka Allah -ta'ala- akan melindunginya.

 

Setelah kita mengenal sebagian dari keutamaan dicintai oleh Allah -azza wa jalla-,  maka perlu diketahui bahwa cinta Allah -ta'ala- itu, tidak secara langsung datang kepada seorang hamba, tidak serta-merta seseorang itu langsung dicintai oleh Allah -ta'ala-.

 

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Ustaimin -rahimahullah- berkata,

الْمَحَبَّةُ لَهَا سَبَبٌ

“Kecintaan itu memiliki sebab.” [Lihat Al-Qaul Al-Mufid 'ala Kitabit Tauhid  (hlm. 88)]

 

Dari sini, anda telah mengetahui bahwa untuk meraih kecintaan dari Allah -ta'ala-, maka seorang hamba harus mengambil sebab-sebab dan menempuh jalan-jalan yang akan menuntun dan mengantarkan mereka meraih cinta Allah -ta'ala- kepada diri mereka.

 

Di antara amalan (yang apabila dijaga dan diamalkan oleh seorang hamba, maka amalan itu  akan mengantarkan dirinya kepada kecintaan Allah -azza wa jalla- terhadap si hamba), memperbanyak mengerjakan amalan nawafil (amalan-amalan ketaatan yang hukumnya sunnah).

 

Disebutkan di dalam sebuah hadits qudsiy. Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda,

Allah -azza wa jalla- berfirman,

ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه

Senantiasa hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (hukumnya sunnah) sampai Saya mencintainya. [HR. Al-Bukhariy (no. 6502)]

 

Syaikh Abdul Karim bin Abdillah Al-Khudhoir -hafizhahullahu- berkata,

"والإكثارُ من النوافل سببٌ لمحبة الله _جل وعلا_ للعبد."

Memperbanyak (melakukan) amalan-amalan “nawafil” (sunnah) adalah sebab kecintaan Allah -jalla wa 'alaa- kepada seorang hamba.[Lihat Ar-Riyadh Az-Zakiyyah Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyyah (hlm. 400)]

 

Ini merupakan berita gembira bagi mereka yang tulus dan sabar dalam menghidupkan amaln-amalan nawafil (yang sunnah) di dalam kehidupannya.

 

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata,

فإِذَا أَكْثَرْتَ مِنَ النَّوَافِلِ، فَأَبْشِرْ بِمَحَبَّةِ اللهِ لَكَ

“Apabila engkau banyak melakukan amalan-amalan “nawafil” (yang sunnah), maka bergembiralah dengan kecintaan Allah -azza wa jalla- kepadamu.” [Lihat Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyyah (hlm. 450 )]

 

Dari sinilah, semestinya seorang hamba memperbanyak mengerjakan amalan-amalan yang sunnah dan bersemangat di dalam melakukannya, bukan malah meremehkan dan memandangnya sebelah mata, bahkan terkadang ada yang aneh sampai ia berkilah, “Itu kan hukumnya sunnah saja!”

 

Sebuah kalimat yang terlihat ringan, akan tetapi tidak pantas diucapkan oleh seorang muslim. Karena, perkara ketaatan dan ibadah adalah perkara yang urgen dan amat dibutuhkan oleh setiap mukmin demi meraih keutamaan dan pahala yang akan menjadi sebab kebahagiannya di akhirat.

 

Ingat, terkadang sesuatu kecil menurut pandangan manusia, tetapi ternyata hal itu adalah penentu kebahagiaannya di negeri akhirat.

 

Asy-Syaikh Abdul Karim bin Abdillah Al-Khudhoir -hafizhahullah- ketika menyikapi orang-orang yang meremehkan amalan yang hukumnya sunnah,

"وعلى فرض أنها سنة، فهل أنت غني عن هذه السنة وأجرها؟!"

 

Sekiranya dipastikan bahwa amalan itu hukumnya sunnah,  maka apakah kamu tidak butuh kepada amalan sunnah tersebut dan pahalanya?!”  [Lihat Irsyadul Akhyar ilaa Syarh Jawami'il Akhbar  (hlm. 122)]

 

Ini merupakan nasehat emas bagi mereka yang senantiasa bersemangat dalam mengamalkan amalan-amalan nawafil (yang hukumnya Sunnah) agar mereka konsisten di atasnya sehingga mereka akan bergembira dengan pahala dari amalan-amalan yang sunnah tersebut, dan nasihat ini sekaligus menjadi bantahan telak bagi mereka yang mengenyampingkan amalan-amalan yang sunnah dan meremehkannya. Apakah mereka ini tidak butuh kepada pahala dari amalan-amalan nawafil (yang Sunnah) tersebut?!

 

Syaikh Sholih bin Abdillah Al-Fauzan -hafizhahullah- ketika mengomentari hadits qudsiy di atas,

"هذا فيه الحث على النوافل، وأن لا يزهَدَ الإنسانُ فيها، لأن فيها خيرًا كثيرًا."

Di dalam hadits ini, terdapat anjuran terhadap amalan-amalan “nawafil” (yang hukumnya sunnah),  dan agar seseorang itu tidak meninggalkannya. Karena, di dalamnya ada kebaikan yang sangat banyak.” [Lihat Al-Minhah Ar-Rabbaniyyah fi Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyyah (hlm. 279)]

 

Seorang yang cerdik tidak akan pernah meluputkan dirinya dari amalan-amalan yang membuahkan pahala dan keutamaan baginya di sisi Allah, entah itu amalan-amalan “nawafil”, terlebih lagi amalan-amalan yang fardhu (wajib). Wallahu a'lam

 

Ditulis di Ma'had Al-Ihsan Gowa, Sabtu, 11 Jumadal Akhiroh 1443 H, bertepatan 15 Januari 2022 M.

 

-------------------------------

 

Selesai diedit oleh Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah Al-Bugisiy –hafizhahullah- pada hari Sabtu, 11 Jumadal Akhiroh 1443 H.

 



[1] Ma’had Subulus Salam adalah sebuah pondok pesantren yang dirintis oleh Ustadz Fadhly Abu Harun Al-Makassariy –hafizhahullah-. Ma’had ini pada awal perintisannya bernama “Ma’had As-Sunnah Samaya”. Namun, karena sesuatu dan lain hal, namanya berubah menjadi Ma’had Subulus Salam yang berada di Dusun Samaya, Desa, Romangloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92171.

Alamatnya dapat anda kunjungi via link Google Maps berikut ini : https://goo.gl/maps/EenBACcq14PshTRHA

Komentar

Postingan populer dari blog ini